Sabtu, 31 Juli 2010

Guru “Jadi-Jadian”

Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian

DALAM etimologi bahasa Sunda, istilah guru berasal dari bahasa kirata yang merupakan akronim dari kata “digugu” dan “ditiru”, Dapat diartikan, betapa tingginya nilai keteladanan para guru, sehingga apa saja yang yang dilakukan dan diajarkan selalu menjadi panutan bagi muridnya. Guru merupakan orang yang harus dipatuhi (digugu) dan harus dicontoh (ditiru), konotasinya guru menjadi panutan yang tidak mungkin salah atau cacat. Kemahiran seorang guru dalam memberi cantoh dan menularkan segala yang baik dan berguna akan mempengaruhi sang murid menaruh perhatian dan tertarik akan apa yang dilakukan, dicontohkan, dianjurkan, dan dinasihatkan gurunya untuk akhirnya ditiru, diterapkan, dan dikembangkan dalam perjalanan hidup muridnya kelak.

Kita sering mendengar kata pepatah; “guru kencing sambil berdiri, murid kencing sambil berlari”. Jadi, dalam hal ini guru harus mentransfer ilmu dan perilakunya kepada murid sehingga murid menjadi orang yang berguna di tengah-tengah masyarakat. Paling tidak ilmu dan perilaku murid sesuai dengan apa yang dikehendaki dan ditiru dari gurunya. Era tahun 50-an, guru masih mempunyai kedudukan dan wibawa yang besar di tengah-tengah murid dan masyarakat, guru masih menjadi orang yang sepatutnya dipatuhi dan dicontoh. Bagaimanapun galak dan kasarnya seorang guru dalam mengajari muridnya di kelas, tak pernah ada murid yang balas memukul guru atau orang tua murid yang mencak-mencak menentang ataupun nodong guru agar anaknya (yang bodoh itu) dinaikkan ke kelas berikutnya. Saat itu, guru memiliki gelar yang paling kharismatik, yaitu “Tuan Guru”. Semua orang percaya bahwa gurulah yang bisa membuat manusia berilmu pengetahuan dan berguna ataupun ternama di kalangan masyararakat, betapa tidak, karena guru, manusia bisa menjadi apa saja, pejabat, penusaha, pendekar, bahkan bisa menjadi penjahat, pengkhianat, perampok, pencuri, dan sebagainya. Dalam hal ini guru menjadi pengajar (pendidik) dan contoh (teladan) bagi muridnya.

Dari kacamata sosiologi dalam mengarungi kehidupannya, manusia didorong antara lain oleh faktor heriditas yang berwujudkan naluri untuk belajar dan mengajar satiap waktu. Sejak manusia dilahirkan sampai menjelang akhir hayatnya, manusia tidak terlepas dari peran guru (berguru) dan menggurui orang lain. Namun, sekarang nasib guru kurang memperoleh perhatian, baik dari masyarakat, orang tua, anak didik, bahkan muridnya sendiri. Banyak peristiwa yang kita dengar tentang penganiayaan murid terhadap gurunya karena tidak memberikan nilai yang baik dan mengancam karena tidak dinaikkan ke kelas selanjutnya ataupun sedikit dicubit guru sudah menjadi pelanggaran HAM, dan ini menjadi momok yang sangat menakutkan buat para guru kita, sementara gaji guru dan kesejahteraan pun sering dipermainkan pihak-pihak yang berkompeten mengurusnya. Jika kita mengamati kehormatan seorang guru di tengah-tengah masyarakat sekarang sudah sangat memudar, bahkan hal ini juga terjadi di kampung-kampung di Aceh. Misalnya, guru yang baru selesai mengajar di sekolah pulang dengan kereta bututnya melewati masyarakat yang sedang duduk di keudee kupi atau pos jaga, ataupun seorang dosen yang pulang ke kampungnya ketika liburan, tidak terlihat sedikitpun rasa hormat atau kebanggaan masyarakat kepada mereka. Tetapi, lain halnya ketika sang pejabat pulang kampung, seluruh masyarakat kita yang tadinya sibuk dengan secangkir kopi di keudee, langsung terbangun dengan mencium tangan mereka, bukan hanya masyarakat awam yang demikian, tetapi teungku pun ikut-ikutan, kenapa semua ini bisa terjadi di tempat kita? apakah uang lebih berharga daripada sepercik ilmu pendidikan.

Dalam paradigma masyarakat kita, jika ingin menjadi seorang guru, maka harus bersiap-siap menjadi miskin, menjadi guru bukan hanya sekedar profesi tetapi juga pengorbanan dan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Semua ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, di manakah salahnya?, zamankah, muridkah, gurukah, orang tuakah, pemerintahkah, masyarakatkah, atau kesalahan kita semua. Tentu, ini tidak sepenunya pembelaan terhadap para guru, guru juga mempunyai banyak kekurangan, kini citra dan wibawa sang guru seolah-olah terabaikan, nilai guru tidak mencerminkan lagi kharisma seorang pengajar dan pendidik, bahkan tidak lagi menjadi contoh teladan bagi murid-muridnya. Sementara itu, pula sekolah guru kini telah tiada, lembaga yang mencetak guru ideal telah pupus, sedangkan Tarbiyah dan FKIP terus melahirkan sarjana ilmu pendidikan, sarjana yang hanya mampu mengajar tetapi tidak mampu mendidik. Apa benar kita akan menemukan guru yang benar-benar seorang guru, bukan hanya sekedar menjadi “guru-guruan” atau guru “jadi-jadian” yang hanya menjadikan profesi guru sebagai pelarian untuk menyambung hidup?

Menjadi guru bukan hanya sekadar mengajar di dalam kelas, kemudian lepas tanggung jawab ketika di luar kelas. Guru bukan hanya cuma bisa mengajar, tapi juga harus mampu mendidik siswanya. Guru yang baik, adalah mereka yang mampu mendidik murid-muridnya bersikap dewasa, memiliki nilai individualitas, moralitas, dan sosialitas dalam kehidupan, mari kita menjadi guru yang profesional dan penuh pengabdian untuk mencerdaskan bangsa ini demi terwujudnya Aceh yang bermartabat ke depan.

Serambi indonesia,31 juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar